23 November 2010

Menulis Sejarah Secara Kritis*

Oleh: Radea Juli A. Hambali

Sunan Gunung Djati-Perhelatan pemilu 2009 kian mendekati waktu pelaksanaannya. Para kontestan politik (caleg, partai) sibuk menyusun siasat pemenangan melalui lobi, koalisi, dan strategi dukung mendukung. Media cetak dan elektronik juga tampak gemerlap dan berubah menjadi arena persaingan iklan dan kampanye tentang niat dan janji menjadi yang terbaik buat rakyat. Sejatinya, fenomena ini menarik untuk ditelisik.

Melalui iklan juga promosi, para kontestan pemilu tampaknya sedang menulis sejarah baru bagi kehidupan politik di republik ini. Yang menarik, sejarah yang hendak ditulis melalui iklan atau pun kampanye itu, disamping memiliki kekhasannya masing-masing juga terlihat adanya kesamaan untuk merujuk atau mempertautkan diri dengan peristiwa atau pun tokoh besar dari sejarah masa lampau.

Ada iklan yang berhasrat membangun optimisme dengan bercermin pada pahlawan dan guru bangsa di masa lalu. Juga ada iklan tentang Garuda perkasa yang terbang di angkasa sambil menandaskan bahwa Indonesia di masa lampau adalah negeri yang jaya dan memiliki identitas bangsa yang tegas dan jelas. Juga ada ritual mengunjungi (ziarah) makam tokoh panutan yang pernah berjasa bagi republik ini.

Tiga pendekatan

Kesadaran untuk mengaitkan iklan politik dengan peristiwa ataupun tokoh masa lalu ditangkap secara jeli oleh para politisi di republik ini. Boleh jadi, para politisi kita memiliki keyakinan seperti halnya Nietzsche yang menandaskan pentingnya masa lalu sebagai modal untuk hidup secara sehat. Dan bukankah kesadaran akan sejarahlah yang membedakan manusia dan hewan?

Menurut Nietzsche ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menulis sejarah, yaitu pendekatan monumental, antikuarian, dan pendekatan kritis. Melalui ketiganya individu ataupun kelompok masyarakat dapat menghubungkan diri dengan dan mencari manfaat dari sejarah masa lalu itu. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga ada bahaya yang harus diperhatikan dari tiap-tiap pendekatan itu (St Sunardi, 2000).

Penulisan sejarah dengan pendekatan monumental dilakukan dengan memusatkan perhatian pada peristiwa dan capaian-capaian agung yang pernah terjadi di masa lampau. Sech das Grosse ist schon da!—lihatlah kebesaran pernah menjulang di masa lampau! Diakui, peristiwa dan capaian-capaian agung di masa lampau sering menyilaukan, menjadi magnet dan pesona. Dengannya orang mudah tergoda dan berusaha untuk kembali ke sana. Di tangan orang yang memiliki spirit militan dan pemberani, kebesaran dan keagungan masa lalu itu dapat menjadi model far excellence dan diyakini dapat dihadirkan kembali pada zaman sekarang.

Menulis sejarah dengan pendekatan monumental ini bisa menimbulkan bahaya jika ia digegenggam oleh mereka yang berbakat tapi rakus, maka perang dan revolusi bisa berkobar, dan bisa cenderung tidak adil dalam memperlakukan capaian-capaian kehidupan yang telah diraih oleh masyarakat zaman sekarang.

Adapun sejarah antikuarian ditulis untuk mencari asal-usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Menurut St Sunardi, sejarah antikuarian muncul dari keinginan dan obsesi untuk melindungi (Bewahrend) dan menghormati (Verehrend) apa yang dianggap sebagai sumber identitas atau asal-usul (Herkunft) seseorang atau kelompok.

Melalui sejarah antikuarian, orang ataupun suatu kelompok masyarakat menemukan semacam titik sambung antara hidupnya hari ini dengan hidup pendahulu atau nenek moyang mereka di masa lampau –para pendahulu yang mereka kagumi dan hormati, para pendahulu yang dianggap sebagai sumber dan akar asal-usul hidup mereka. Menemukan titik sambung ini menjadi penting dalam rangka menciptakan identitas. Sejarah ini ditulis dengan tujuan untuk meyakinkan orang ataupun kelompok tertentu bahwa mereka berasal dari “akar” yang baik dan untuk menunjukkan bahwa kesinambungan ini masih bisa dibuktikan. Sejatinya, sejarah antikuarian memiliki fungsi untuk menciptakan identitas, kemana masa depan (Zukunft) harus diarahkan dan dijalankan.

Sejarah antikuarian memiliki bahaya. Atas nama kesetiaan terhadap sumber dan akar asal-usul, orang menjadi tidak kreatif. Hal-hal baru yang mungkin dapat diciptakan sering dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan identitas. Sebagaimana menurut Nietzsche, “sejarah antukuarian tidak tahu cara melahirkan hidup, melainkan hanya tahu memeliharanya. Oleh karena itu sejarah ini senantiasa tidak menghargai sesuatu yang mungkin bakal muncul karena sejarah ini memang tidak memiliki naluri tentang hal baru”.

Apa yang ditawarkan oleh sejarah antikuarian tidak lain hanyalah dorongan untuk menjadi epigon (peniru). Gagasan epigon muncul dari kesadaran dan pengakuan bahwa orang atau kelompok yang hidup hari ini merupakan pewaris kebudayaan. Dalam antikuarian, gerak sejarah dipahami secara linear, manusia hari ini tak lebih hanya sebagai pendatang belakangan (new comers).

Sejarah kritis

Berbeda dengan pendekatan monumental dan antikuarian, cara melihat masa lampau dengan kritis dimaksudkan untuk memandirikan manusia zaman sekarang dengan jalan memeriksa dan meneliti masa lampau secara adil. Fungsi kritis juga diperlukan agar manusia zaman sekarang benar-benar hidup di atas ingatan masa lampau yang benar dan objektif.

Menulis sejarah secara kritis berarti menghadirkan masa lalu yang pernah bertindak tidak adil dan menyeretnya ke hadapan mahkamah pengadilan guna menyingkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Ada banyak peristiwa dalam kehidupan sosial kita sebagai warisan sejarah masa lalu yang perlu diurai secara transparan dan ditemukan benang merahnya. Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, misalnya, menuntut penyelesaian secara tuntas dan segera ditemukan siapa dalang utamanya.

Pemilu 2009 dapat menjadi momentum menghadirkan optimisme baru yang karenanya akan dicatat sejarah dengan tintas emas, jika parpol dan para politisi bersedia menulis sejarah politik dan demokrasi di republik ini secara benar, adil dan objektif. Karenanya, parpol juga para politisi dituntut untuk menyajikan iklan dan promosi yang mendidik dan mencerahkan atas nama kejujuran dan ketulusan yang dipijakkan di atas niat berkhidmat untuk kepentingan rakyat banyak. Semoga!

*dimuat di Pikiran Rakyat, 13 Mater 2009

Diunduh dari: http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=775

No comments: