29 November 2010

Sejarah Manusia Perahu di Pulau Galang*

Puluhan manusia perahu Vietnam menembus ganasnya lautan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.


SAIGON, ibukota Vietnam Selatan, jatuh ke tangan pasukan Vietnam Utara pada 30 April 1975, setelah perang saudara bertahun-tahun yang melibatkan dua kekuatan besar Perang Dingin. Perang pun berakhir. Vietnam Selatan kemudian menjadi Republik Vietnam Selatan, sebuah negara boneka di bawah kekuasaan militer Vietnam Utara, sebelum secara resmi disatukan dengan Utara di bawah pemerintahan komunis sebagai Republik Sosialis Vietnam pada 2 Juli 1976.

Sejak itu, komunis Vietnam melarang partai politik lain. Mereka juga menjebloskan orang-orang yang dipercayai berkolaborasi dengan Amerika Serikat, termasuk semua mantan perwira Angkatan Darat Vietnam Selatan, ke penjara-penjara, yang mereka sebut kamp pendidikan kembali (reeducation camps). Hung Lang, berpangkat letnan dua, salah satunya.

Mereka memenjarakan dan memindahkannya 5-6 ke kamp yang berbeda-beda. Di kamp-kamp itu Hung harus hadir di kelas, yang membicarakan keburukan-keburukan Amerika dan Vietnam Selatan. “Saya berada di kamp selama hampir tiga tahun, sampai 1977,” kata Hung seperti diceritakannya kepada Mary Terrell Cargill dan Jade Ngọc Quang Huỳnh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen Narratives of Escape and Survival.

Setelah bebas, Hung kembali ke keluarganya di Saigon, sekalipun masih menjalani wajib lapor ke pemerintah daerah setempat apa yang dilakukannya dan ke mana saja dia pergi selama seminggu. Pada 22 Oktober 1978, dia menikahi Thu Ha, gadis yang ditemuinya ketika bertugas sebagai tentara di Camau, daerah di ujung selatan Vietnam. Mereka dikaruniai seorang putra dan putri. Tapi mereka harus tinggal terpisah; Hung di Saigon, Thu Ha di Camau. Hung ingin tinggal di Camau tapi pemerintah komunis tak mengizinkannya. Hung pun jarang melihat anak-anaknya.

“Bagaimana saya bisa merawat anak-anak? Sementara saya tak memiliki pekerjaan. Karena masalah ini, saya berencana melarikan diri,” ujar Hung.

Rekonstruksi negara yang porak-poranda akibat perang sangat lambat. Persoalan ekonomi menghadang rezim komunis. Situasi tak menentu ini membuat banyak warga Vietnam meninggalkan negerinya. Hung ingin mengikuti jejak mereka; berencana melarikan diri ke Amerika.

Seorang paman menjanjikan sebuah perahu besar dengan segala sesuatu di atasnya. Hung setuju untuk membayar sebagian uang sebelum meninggalkan Vietnam dan sisanya ketika tiba di Amerika. Tapi dia tertipu. Hung hanya mendapatkan sebuah perahu kecil dengan sedikit makanan, air, dan gas.

Pada 20 April 1984, Hung mengangkat sauh dari Camau, turun ke ujung selatan Vietnam, tempat sekira 22 penumpang naik perahu kecil terbuka. Delapan orang di antaranya keluarga Hung: dirinya, istri, ibu mertua, dua anak, dan tiga keponakan istri.

Baru beberapa saat berlayar, perahu rusak. Hung merasa tak aman untuk melanjutkan perjalanan dan ingin kembali. Tapi Hung sadar akibatnya. Temannya, seorang tentara berpangkat letnan dua, yang mencoba melarikan diri melalui Kamboja, tertangkap tentara komunis, masuk penjara, dan dibunuh. “Saya tahu saya tak bisa kembali. Akhirnya perahu pun bekerja kembali. Saat itu saya tak tahu seberapa jauh ke Indonesia,” kata Hung.

Tapi perbekalan tak memadai. Karena lapar dan haus, kedua anak Hung meninggal; juga keponakan istrinya. “Saya bertanya kepada Tuhan mengapa semua ini terjadi. Kami melarikan diri bukan untuk masa depan kami, tapi untuk masa depan anak-anak,” rintih Hung.

Sesuatu yang buruk kembali datang; perahu terjebak dalam pusaran air (whirlpool). Selama dua hari perahu hanya berputar-putar di pusaran air dekat Teluk Thailand. Beruntung mereka terbebas dari pusaran air. “Setelah keluar dari pusaran air, semua orang di kapal kelelahan dan berbaring di perahu sambil berpikir akan kematian.”

Selama sekira 13 hari di tengah laut, dan nyaris putus asa, sebuah perahu nelayan datang menolong dan membawa mereka ke kamp pengungsian di pulau kecil bernama Kuku di Kepulauan Riau. Mereka tinggal selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke Pulau Galang.

Hung dan rombongannya bukanlah satu-satunya, dan yang pertama, pengungsi asal Vietnam –kemudian dikenal sebagai manusia perahu (boat people). Menurut Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, manusia perahu kali pertama memasuki Indonesia pada 25 Mei 1975; mendarat di Pulau Laut, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Natuna. Kemudian disusul kedatangan 4.000 pengungsi di Pulau Anambas, yang melebihi jumlah penduduk setempat: 3.000 jiwa. Ada juga yang mendarat di Pulau Bintan dan Pulau Pengibu –pulau kosong yang tak punya sumber air. Meski merepotkan, mereka ditampung.

Untuk mengatasi problem manusia perahu ini, para menteri luar negeri ASEAN mengadakan pertemuan di Bangkok pada 21 Februari 1979, yang menghasilkan Pernyataan Bangkok. Negara-negara ASEAN setuju bekerjasama untuk meringankan beban manusia perahu.

Sebagai realisasi komitmen tersebut, pemerintah Indonesia membangun kamp penampungan di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, seluas 80 hektar. Pemerintah Indonesia dan Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) membangun jalan dan barak-barak pengungsi. Setelah itu masuklah tim medis dari Indonesia, Perancis, dan Jerman. Kamp itu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1980. Semua manusia perahu dipindahkan ke Pulau Galang, yang terdapat dua kamp, Galang I dan II. Menurut Tempo, 18 Desember 1993, ketika kamp Galang dibangun pada 1979, terdapat 50.000 pengungsi. Jumlahnya terus bertambah. Sampai 1993 tercatat angka 145.000.

Selama tinggal kamp Galang II, Hung dikaruniai seorang anak, yang diberi nama Thien An –dalam bahasa Vietnam berarti “rahmat Tuhan.” Hung juga aktif di gereja, menjadi seorang pemimpin komite, sementara istrinya sebagai bendahara. Mereka mengajar di sekolah Alkitab. Mereka mengaku memiliki kehidupan yang indah di kamp Galang.

Di Kamp Galang juga terdapat pembekalan dan screening. Menurut Tempo, 19 Mei 1990, UNHCR mendidik dan mempersiapkan para pengungsi sebelum tiba di negeri barunya. Mereka mendapat pelajaran bahasa Inggris dan keterampilan lain, seperti perbengkelan atau mengetik. Screening menentukan apakah pengungsi dikirim ke negara penerima seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Prancis atau dikembalikan ke negara asal. Hung lolos screening dan berangkat ke Amerika.

Berdasarkan keputusan Agency Consultation on the Indo-China Refugee VI di Jenewa, Pulau Galang harus dikosongkan selambat-lambatnya pada 1995. Namun, tulis Marwati dan Nugroho, hingga 30 Juni 1996 masih terdapat 4.628 orang pengungsi di Pulau Galang. Pengosongan baru terealisasi pada September 1996.

Kini kamp di Pulau Galang menjadi objek wisata sejarah di Batam. Para pengunjung dapat melihat secara langsung perahu-perahu yang mengantarkan “manusia perahu” ke Indonesia, juga beberapa peninggalan mereka seperti perkakas dapur dan peralatan makan, barak, penjara, gereja, rumahsakit, dan pagoda.

Pada 2006, seratusan eks pengungsi Vietnam menggelar reuni untuk kali pertama. Mereka yang telah berhasil di negara-negara yang memberi­kan suaka bernostalgia di Pulau Galang, seolah tanah ke­lahiran mereka.

Meski telah menjadi warga negara Amerika, Hung merasa kehidupan di kamp lebih baik daripada kehidupan di Amerika. “Karena di kamp saya punya kesempatan untuk membantu orang. Setiap minggu saya melihat banyak orang datang untuk percaya kepada Tuhan.”

Hung sempat mengunjungi negerinya ketika ayahnya sakit dan meninggal dunia serta ibunya sendirian. Vietnam di matanya sudah berubah. Ada banyak bangunan baru di Saigon. Tapi dia melihat kehidupan rakyat Vietnam jauh lebih miskin ketimbang sebelum 1975.[HENDRI F. ISNAENI]

Diadaptasi dari judul Asli: Menyeberang ke Pulau Galang
Sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-356-menyeberang-ke-pulau-galang.html

No comments: